Etika Penggunaan Teknologi informasi
Etika secara umum didefinisikan sebagai
suatu kepercayaan atau pemikiran yang mengisi suatu individu, yang keberadaanya
bisa dipertanggung jawabkan terhadap masyarakat atas perilaku yang diperbuat.
Biasanya pengertian etika akan berkaitan dengan masalah moral.
Moral adalah tradisi kepercayaan
mengenai perilaku benar dan salah yang diakui oleh manusia secara universal.
Perbedaanya bahwa etika akan menjadi berbeda dari masyarakat satu dengan
masyarakat yang lain.
Sebuah survei menyebutkan bahwa
penggunaan software bajakan yang berkembang di Asia saat ini bisa mencapai
lebih dari 90 %, sedangkan di Amerika kurang dari 35 %. Ini bisa dikatakan
bahwa masyarakat pengguna software di Asia kurang etis di banding di Amerika.
CONTOH KASUS PELANGGARAN PENYALAHGUNAAN
TEKNOLOGI INFORMASI YANG BERHUBUNGAN DENGAN ETIKA.
Pembobolan bank oleh sekelompok hacker
yang domotorin oleh Kristina Svechinskaya
Dalam menjalankan aksinya, Svechinskaya bekerja bersama 37 hacker lainnya.
Gadis berusia 21 tahun itu saat ini ditahan di New York. Svechinskaya memanfaatkan virus 'Zeus Trojan' dan malware lainnya untuk membajak komputer orang lain.
Dalam menjalankan aksinya, Svechinskaya bekerja bersama 37 hacker lainnya.
Gadis berusia 21 tahun itu saat ini ditahan di New York. Svechinskaya memanfaatkan virus 'Zeus Trojan' dan malware lainnya untuk membajak komputer orang lain.
Lalu, secara rahasia, para hacker
komplotannya memantau aktivitas komputer korban, mencuri nomor rekening bank
dan password. Dengan modal itu, mereka lalu mengambil uang jutaan dollar dari
rekening korban. Seperti dimuat situs Daily Mail, Rabu 13 Oktober 2010, uang
hasil curian itu lalu ditransfer ke ratusan rekening bank palsu milik perantara
di Amerika Serikat yang menerima dan mencuci uang hasil kejahatan cyber.
Svechinskaya juga berperan sebagai perantara yang mendapatkan komisi 10 persen
dari uang curian yang ditransfer oleh hacker lainnya. Svechinskaya punya
sedikitnya lima rekening atas nama sendiri dan beberapa alias, di antaranya
Anastasia Opokina dan Svetlana Makarova.
Solusi : artikel ini saya dapatkan melalui situs lokal, masih berhunbungan dengan kasus diatas tetapi solusi untuk pencegahan pembobolan bank untuk di Indonesia.
Ada beberapa perspektif yang dapat dikembangkan dari kasus pembobolan bank, belakangan ini. Satu, kondisi perpolitikan dan kepastian hukum masih berada di wilayah abu-abu. Akibatnya, para pelaku beberapa kasus pembobolan bank atau hampir semua pelakunya tidak dihukum setimpal.Dua, lemahnya sistem pengawasan internal di bank bersangkutan bikin fungsi cabang bank menjadi fungsi yang menumpangtindihkan bisnis dengan kontrol. Cabang bank seperti menjadi pusat kekuasaan pemimpin cabang, sehingga sulit dideteksi dengan sistem pengawasan yang lemah.
Solusi : artikel ini saya dapatkan melalui situs lokal, masih berhunbungan dengan kasus diatas tetapi solusi untuk pencegahan pembobolan bank untuk di Indonesia.
Ada beberapa perspektif yang dapat dikembangkan dari kasus pembobolan bank, belakangan ini. Satu, kondisi perpolitikan dan kepastian hukum masih berada di wilayah abu-abu. Akibatnya, para pelaku beberapa kasus pembobolan bank atau hampir semua pelakunya tidak dihukum setimpal.Dua, lemahnya sistem pengawasan internal di bank bersangkutan bikin fungsi cabang bank menjadi fungsi yang menumpangtindihkan bisnis dengan kontrol. Cabang bank seperti menjadi pusat kekuasaan pemimpin cabang, sehingga sulit dideteksi dengan sistem pengawasan yang lemah.
Tiga, masalah mental dan moral pegawai
bank itu sendiri. Boleh jadi, problem ini memang rumit karena melibatkan banyak
dimensi dan banyak orang. Tapi, boleh jadi, hal itu dilatari lingkungan dan
jenjang karier. Karyawan yang kariernya mentok karena perubahan kondisi
internal yang didilakukan manajemen atau pemilik membuatnya berpikiran pendek.
Apalagi jika lingkungan atau debitor mengiming-imingi dengan kekayaan.
Di luar itu, selain dipicu moral hazard
pegawai bank, kasus-kasus pembobolan bank belakangan ini juga disebabkan tak
mampunya sistem pengawasan BI mencegah kejahatan secara dini. Karena itu,
selain perlu meningkatkan kompetensi jajaran pengawas bank, BI juga perlu
mengonsolidasikan fungsi pengawasan dan pemeriksaannya.
Sistem pengawasan dengan pendekatan
kepatuhan perlu ditindaklanjuti dengan mempercepat pelaksanaan sistem
risk-based supervision ke seluruh jajaran perbankan tak terkecuali. Apalagi,
risiko operasional belakangan ini mulai banyak terjadi. Tidak terbatas pada
bank pemerintah dan swasta nasional, tapi juga bank-bank yang dimiliki pihak
asing.
Langkah perbaikan organisasi di bidang
pengawasan ini perlu dilakukan agar pembobolan bank oleh pemilik, pengurus, dan
pegawai bank tidak terjadi lagi. Pengalaman mengajarkan, kepemilikan bank di
Indonesia rawan moral hazard dan sistemnya memungkinkan terbukanya pintu yang
lebar bagi moral hazard.
Masih adanya program penjaminan adalah salah satu contohnya. Apalagi, tidak semua bank sudah menerapkan manajemen risiko secara benar. Bahkan, komisaris independen dan direktur kepatuhan cenderung sekadar pajangan karena begitu kuatnya pengaruh pemilik bank.
Masih adanya program penjaminan adalah salah satu contohnya. Apalagi, tidak semua bank sudah menerapkan manajemen risiko secara benar. Bahkan, komisaris independen dan direktur kepatuhan cenderung sekadar pajangan karena begitu kuatnya pengaruh pemilik bank.
Karena itu, BI perlu mempercepat
penerapan manajemen risiko kepada seluruh bank. Apalagi, pemeriksaan yang
dilakukan BI secara umum dan pemeriksaan khusus hanya untuk fit and proper
test, pemeriksaan modal dan kualitas aktiva produktif, serta penerapan know
your customer (KYC). BI baru akan mengawasi secara intensif jika suatu bank
memiliki potensi kesulitan. Artinya, kalau suatu bank tidak sedang terjepit
kesulitan, ia tidak diawasi secara intensif.
Padahal, ketaksehatan bank bisa datang kapan saja. Apalagi, dalam situasi sekarang yang rawan peningkatan non performing loans (NPL), rendahnya kapasitas kredit, dan tekanan risiko operasional, kinerja bank bisa memburuk mendadak.
Harusnya, pengawasan bank pada umumnya langsung menyangkut aspek moral, khususnya dalam pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Kredit grup yang dilatari perangkapan pemilik dan pengurus bank serta debitor mestinya tidak bisa ditolelir lagi. Sebab, kejahatan bank lewat kredit fiktif dan BMPK ini telah mengusik rasa keadilan publik.
Padahal, ketaksehatan bank bisa datang kapan saja. Apalagi, dalam situasi sekarang yang rawan peningkatan non performing loans (NPL), rendahnya kapasitas kredit, dan tekanan risiko operasional, kinerja bank bisa memburuk mendadak.
Harusnya, pengawasan bank pada umumnya langsung menyangkut aspek moral, khususnya dalam pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Kredit grup yang dilatari perangkapan pemilik dan pengurus bank serta debitor mestinya tidak bisa ditolelir lagi. Sebab, kejahatan bank lewat kredit fiktif dan BMPK ini telah mengusik rasa keadilan publik.
Saat ini, BI sudah mengeluarkan
Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 5/8/PBI/2003 tentang manajemen risiko bank
umum. Ia meliputi risiko kredit, likuiditas, pasar, operasional, hukum,
reputasi, strategi, dan kepatuhan. Tapi, bank berukuran lebih kecil dan
kompleksitas usahanya masih rendah hanya dikenai empat risiko, yaitu risiko
pasar, kredit, likuiditas, dan operasional.
Haruskah seluruh bank menerapkan semua aspek risiko tanpa membedakan bank besar ataupun bank kecil? Artinya, risiko reputasi dan kepatuhan harusnya tidak melulu diberlakukan bagi bank besar. Bank kecil yang sebagian besar dikelola keluarga juga perlu menerapkan keduanya.
Haruskah seluruh bank menerapkan semua aspek risiko tanpa membedakan bank besar ataupun bank kecil? Artinya, risiko reputasi dan kepatuhan harusnya tidak melulu diberlakukan bagi bank besar. Bank kecil yang sebagian besar dikelola keluarga juga perlu menerapkan keduanya.
Untuk mendorong efektivitas pengawasan
bank, sekurangnya, ada beberapa syarat yang mesti diperhatikan. Misalnya,
penerapan internal control yang baik, sumber daya manusia yang baik, penerapan
good corporate governance, disiplin pasar, kompetensi jajaran pengawasan BI,
dan law enforcement. Jangan sampai pemilik bank yang membobol banknya tidak
bisa dijerat hukum pidana.
Jangan lagi terulang, sangat sedikit kasus pembobolan bank yang dilakukan pemiliknya dimejahijaukan. Padahal, 90% bank yang rusak pada waktu krisis menyimpan unsur pidana yang melibatkan pemilik dan pengurus bank.
Sedikitnya pembobol bank yang dihukum, karier karyawan bank yang mentok, dan pengawasan yang lemah seperti telah menginspirasii pembobol bank. Jangan biarkan bank terus dibobol. Sebab, tingkat kepercayaan masyarakat akan melemah dan risiko sistemik akan muncul bila hal itu terjadi pada bank-bank besar dengan kerugian yang besar pula.
Jangan lagi terulang, sangat sedikit kasus pembobolan bank yang dilakukan pemiliknya dimejahijaukan. Padahal, 90% bank yang rusak pada waktu krisis menyimpan unsur pidana yang melibatkan pemilik dan pengurus bank.
Sedikitnya pembobol bank yang dihukum, karier karyawan bank yang mentok, dan pengawasan yang lemah seperti telah menginspirasii pembobol bank. Jangan biarkan bank terus dibobol. Sebab, tingkat kepercayaan masyarakat akan melemah dan risiko sistemik akan muncul bila hal itu terjadi pada bank-bank besar dengan kerugian yang besar pula.
Pemerintahan juga harus mampu
menjebloskan para perompak bank. Sudah seharusnya kita bahu-membahu
membersihkan bank dari perilaku menyimpang segelintir pekerja bank. Kendati
kita masih punya bankir-bankir yang bermartabat
1.
Cybercrime
adalah istilah yang mengacu kepada aktivitas kejahatan
dengan komputer
atau jaringan komputer
menjadi alat, sasaran atau tempat terjadinya kejahatan. Termasuk ke dalam
kejahatan dunia maya antara lain adalah
penipuan lelang secara online, pemalsuan cek,
penipuan kartu
kredit/carding, confidence fraud, penipuan
identitas, pornografi anak,
dll.
2.
Privasi merupakan suatu
proses yang sangat penting dalam hidup manusia. Untuk mampu mendapatkan
privasi, seseorang harus terampil membuat keseimbangan antara keinginannya
dengan keinginan orang lain dan lingkungan fisik di sekitarnya.
3.
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hak
eksklusif Yang diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang
atas karya ciptanya. Secara sederhana HAKI mencakup Hak Cipta, Hak Paten Dan
Hak Merk. Namun jika dilihat lebih rinci HAKI merupakan bagian dari benda
(Saidin : 1995), yaitu benda tidak berwujud (benda imateriil).
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar